PROBOLINGGO - Sudah menjadi tradisi penyambutan terhadap peserta didik baru oleh sekolah mulai dipersiapkan. Bahkan geliat untuk mendapatkan peserta didik baru lebih gencar dilakukan. Bagaimanapun adanya peserta didik adalah sebuah keniscayaan bagi sekolah.
Peserta didik dalam pendidikan harus disikapi sebagai modal berharga untuk mewujudkan pendidikan yang berkualtas, tidak hanya dijadikan sebagai “angka” yang bergusar pada kuantitas lembaga pendidikan, lebih ironi kalau ia dijadikan sarana agar terpelihara keberlangsungan sekolah.
Nasibnya lebih rendah daripada martabat budak, ia cuma sarana tak berjiwa. Melihat persaingan yang tak terbantahkan untuk mendapatkan peserta didik baru, banyak sekolah/madrasah acapkali membuat terobosan terobosan meski hal itu bersifat spekulatif dan tipuan semata. Ini dimaksudkan agar sekolah/madrasah yang dikelolahnya mendapat peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak. Sekolah swastapun juga ikut bersaing memperebutkannya.
Dalam dunia pendidikan saat ini, ruh sekolah/madasah swasta raib, yang sejak awal didirikan sebagai upaya untuk menampung masyarakat miskin agar bisa terselamatkan pendidikannya, melihat sekolah/madrasah semakin membatasi bagi masyarakat yang tak berkecukupan.
Semua itu tidak terlepas dari mengurangnya angka peserta didik mendaftar, meski kualitas mutu pendidikan terkadang tak kalah dengan sekolah/madrasah yang berstatus negeri. Sementara saat ini, untuk mendapatkan peserta didik baru layaknya persaingan, berbagai jurus digunakan untuk menggaet peserta didik baru. Sayangnya jurus yang dilancarkann acapkali jauh dari esensi pendidikan. Itu semacam jurus mabuk, jurus itu dimabukkan oleh target yang penting mendapatan pesera didik.
Jurus jurus mabuk itu, berupa biaya uang gedung gratis, uang pangkal, dan SPP gratis bahkan mendapatkan kelengkapan seragam dan buku juga, sarana antar jemput gratis, bahkan yang paling menghawatirkan adalah isu muslihat yang menjadikan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) sebagai ideologisasi.
Baca juga:
Diplomasi Syair Ala Kiai Zulfa Mustofa
|
Akibatnya promosi madrasah/sekolah tak bisa dibedakan lagi dengan marketing yang memasarkan bahan-bahannya agar laku terjual, meski terbual kalimat kalimat bohong dan dusta.
Pada akhirnya, lembaga pendidikan yang dijadikan sarana untuk mewujudkan manusia yang paripurna dan tumbuh berkembang, menjadi pribadi berkaraker baik hancur akibat dinamika pendidikan yang masih belum siap dan itulah disebut prematur pendidikan. Prematur pendidikan juga terjadi ketika sekolah/madrasah menjanjikan pendidikan dengan aneka fasilitas. Fasilitas yang belum terwujud sudah di informasikan agar para pesera didik tepesona, lebih-lebih orang tuanya akan tergila gila. Padahal itu adalah kamuflase belaka, yang dijadikan sebagai alat pendukung agar bisa memperoleh peserta didik. Sekolah/ madrasah seprti ini yang merusak citra pendidikan sebagai media transformasi pengetahuan dan penddikan terhadap anak bangsa.
Kegeliasahan Sekolah/Madrasah
Fasilitas yang dijanjikan dengan upaya mencukupi segala sarana peserta didik baik yang tinggal di asrama maupun hanya bersekolah saja, terkadang tidak terintegrasi dengan sekolah/madrasah akibatnya dikotomi asrama dan sekolah/madrsah seringkali tak terelakkan. Prematur pendidikan menjadi racun yang mematikan semangat anak bangsa, karena seringkalinya tidak sama antara promosi pendidikan dengan fakta pendidikan yang ada. Sekolah/madrasah menanamkan kesan yang kurang baik sehingga nilai-nilai lembaga pendidikan tidak lagi menjadi tujuan utama. Semoga orang tua lebih sadar akan jebakan muslihat sekolah/madrasah. Jurus mabuk yang hanya beroperasi sebagai media pencarian peserta didik baru.
Baca juga:
Ketika Rahmat Tuhan Datang di Malam Hari
|
Tanpa disadari bahwa dengan cara semacam ini, pengkerdilan terhadap anak bangsa. Pesera didik hanya dijadikan sebagai pelepas kegelisahan lembaga pendidikan.
Alhasil, sekolah/madrasah yang membabi buta menghalalkan segala cara, agar bisa menggaet peserta didik, adalah sekolah/madrasah tak ubahnya supermarket yang hanya berorienasi bisnis, sehingga politisasi pendidikan menjadi sebuah keniscayaan. Hal ini, sangat jauh dari harapan orang tua yang menginginkan anaknya sebagai pribadi yang baik, bertanggung jawab dan berilmu. Mereka menyekolahkan bukan hanya bermaksud memenuhi tuntutan akademik melainkan mengharap agar anaknya bisa menjadi penerus bangsa yang mempunyai dedekasi, kepekaan yang cukup tinggi. Prematur pendidikan, akan melaksanakan proses pembelajaran “semaunya” ini terjadi akibat karena belum matangnya konsep yang direncanakan.
Mengelola sekolah/madrasah bermartabat akan lebih memaksimalkan proses dari pada melakukan upaya membabi buta agar bagaimana sekolah/madrsahnya menjadi terdepan dalam membuat sponsor gila-gilaan. Karena sekolah/madrasah yang muncul dari semangat untuk menjadikan peserta didik bermartabat akan menghasilkan output yang bermartabat. Waspadalah, kesalahan paradigma yang kita buat akan menyesatkan lembaga pendidikan, jika itu terjadi lembaga pendidikan tak bisa diharapkan lagi sebagai lembaga yang membina, mendidik manusia agar menjadi manusia yang mampu mewujudkan misi tuhan yaitu mewujudkan RAHMATAN LIL ALAMIN.
Oleh : Ponirin Mika
Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton Probolinggo dan Anggota Community of Critical Social Research